seniman yang tak mengenal nada.

nadanya lirih terdengar pilu dan merdu, ia duduk di trotoar yang di payungi pohon yang tak begitu rindang tapi cukup untuk menghindar dari sengatan matahari yang tak bersahabat, ia meniup seruling yang biasanya dimainkan anak SD untuk memainkan lagu nasional atau lagu daerah, ekor mataku menangkap sosok itu kulitnya kecoklatan mengkilat karena terbakar matahari, bajunya kumal dan ada beberapa bagian yang berlubang, tangan kanannya bermain lihai menutup lalu membuka lubang-lubang pada badan seruling tangan kirinya memegang gelas bekas untuk para dermawan yang mau menyisihkan sedikit uangnya logamnya agar periuk nasinya tetap mengepul.

Ironis memang ketika orang-orang disekitarnya berlalu lalang menenteng-nenteng barang belanjaan yang tak sedikit jumlahnya ia tetap semangat memainkan alunan nada yang terdengar amat pilu ditelinga, ia mengangkat tinggi gelas bekas itu kuhampiri ia kulihat gelasnya hanya terisi dua buah logam lima ratusan ku tatap ia, hampir menangis aku dibuatnya nada yang ia mainkan seperti nada yang telah tersusun rapi ditangga nada naik turun berirama dan membentuk alunan indah nan memilukan hati, ia bukan seorang seniman kontemporer ia juga bukan seniman dengan karya yang luar biasa ia bukan pula seniman yang selalu mengekspresikan dirinya dengan bebas.

Ia hanya pengamen, pengamen yang mengandalkan seruling kebangaannya yang bisa dibeli di toko poto kopian dengan harga miring, mengapa ia tak mengenal not balok ? mengapa ia tak mengenal not angka ? bukankah nada dan irama yang ia hasilkan begitu sempurna walau terdengar lirih dan pilu ?. Ia buta kawan, ia tak bisa melihat.

Komentar

Postingan Populer